Pages - Menu

Sabtu, 14 Maret 2015

CERPEN

Genre: Blood, Hurt, Family
MUNING

Matahari belum cukup menguning. Ia nampak bersembunyi di gumpalan awan. Malu-malu. Padahal ayam saja sudah main teriak di kandang. Meminta sarapan pada sang majikan.
Di pinggir kota, bayang lelaki tua memecah keheningan. Kakinya yang pincang menerobos barang bekas yang berantakan. Bambu panjang yang dipegangnya terus mengulik tiada henti. Ia tak menghiraukan dinginnya udara pagi yang menyusup merembes ke pori-pori. Ia juga mengabaikan kulitnya hampir membeku akibat bersentuhan dengan berribu bulatan air. Yang membuatnya perduli, adalah barang yang ia cari. Ia harus mengumpulkannya.
 “Pri, rajin amat kau. Datang sepagi ini.” Muhidin. Kawan Supri saat mencari bahan setoran. Tidak seperti Supri, Muhidin selalu berpakaian lengkap.  Pun kali ini, memakai atas bawahan lengan panjang, masker, sarung tangan, sepatu but, dan topi. Perut buncitnya jadi terlindungi.
Supri melirik ganjal pada benda yang dipegang Muhidin. “Ini kipas. Kau tahu kan? Buat mengusir keringat dan lalat!” Muhidin mengibas-ngibaskan kipasnya di leher dan sekelilingnya. Karung goni yang bertengger ia taruh sebentar. Dia mau beraksi lagi, meniru pose milik Marilyn Monroe. Bibir dimonyongin serta bokong dinaikin. Alamak, bikin geli saja. Supri jadi terkekeh melihatnya.
“Aha! Ini memang cara paling ampuh untuk membuatmu tertawa. Hahaha...” Mereka masing-masing tergelak. Suaranya dititipkan kepada angin yang mampir. Berharap kebahagiaan sejenak itu dapat dibawa terbang untuk kemudian kembali lagi pada si pemiliknya, mereka berdua. Mereka tak menyadari ada gadis yang mengintip di balik pagar. Di samping mereka, persis. Membola matanya. Aroma geram menguar menyelimutinya. Ia, entah apa dan kenapa, seperti tidak menyukai kedua lelaki paruh baya yang sedang lempar canda. Tepatnya pada lelaki yang sedang memegang bambu panjang. Ia menatap penuh emosi.
***
“Anak durhaka! Andai kau tak lahir dari rahim Muning. Muningku... Muningku... Kau, enyah!” Maki sosok tubuh yang bersender pada pintu. Gema teriakannya mengumbar ke seluruh ruangan. Bising. Kakinya sibuk menggedor pintu. Ditendangnya berkali-kali. Namun nampaknya gerendel pintu itu sangat kuat. Membuka satu sentipun tidak. Gusar ia dibuatnya.
Lelaki itu memutar kepalanya tiga ratus enam puluh derajat. Lirikannya tajam. Ia menatap pada botol kaca yang dipegangnya. Sudut bibir kanannya menukik tajam. Ia menyeringai.
Sementara yang dituding duduk meringkuk di pojokan. Ia menekuk wajahnya rapat-rapat. Tak berani ia membalas ucapan lelaki yang memainkan berbagai sumpah serapah di depan kamarnya. Ia menangis dalam diam. Semua gelora berbenturan membentuk emosi. Amarahnya memuncak. Namun apa daya, tubuhnya yang kecil tak akan mampu melawan lelaki tua yang bahkan tidak tahu dirinya dalam keadaan sadar atau tidak.
Air mata yang mengalir mulai deras sudah. Ia berkali-kali menggosok dengan kaos oblongnya. Perih dan membesar jadinya kedua kelopak mata. Dadanya sesak.
Ia, meskipun masih berumur jagung, sudah tahu apa maksud teriakan lelaki itu. Ia tahu penyebab lelaki itu menggila. Berjalan ke sana ke mari sambil membenturkan dahinya. Kadang di malam hari ia juga mendengar sesenggukan dari kamar sebelah. Lelaki itu mengeja nama Muning... Muning... Muning... Suaranya lirih. Menyayat hati. Gadis itu ikut pilu ketika lelaki itu menyebut nama Muning. Ia bagai dihantui. Kupingnya menghangat jika nama itu dipanggil. Ia benci nama itu. Muak ia.
PRANG. Kaca jendela robek. Membentuk lubang besar dengan botol kaca terjulur menyeberanginya. Si pemegang menatap lekat gadis kecil itu. Nyengir.
“Mati kau!” Ia melempar botol kaca.
***
“Neng, ngapain di sini?” Sentuhan di bahu membuatnya hampir terjungkal. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Simbok di belakangnya sejak tadi. Tangan kanannya balik mencengkeram bahu Simbok. Ia memasang wajah sembunyi. Menuntut Simbok untuk tidak berkata. Masker dilonggarkan sedikit. Tergesa ia mengejar oksigen.
Ia melihat sekeliling. Tempatnya berdiri memang tidak jauh dari pasar. Jadi pantaslah ramai mulai berdatangan. Banyak diantaranya yang menggendong keranjang. Ia paham situasi itu, sehingga ia agak berkilah dengan berbincang dengan Simbok.
Bibirnya ia naik turunkan. Tapi tak ada suara yang keluar. Mukanya ia hadapkan membelakangi orang yang lalu lalang. Ia berbuat demikian hampir tiga menit penuh.
“Neng, ada apa?” Simbok menampakkan muka khawatir. Tangannya yang semula bebas lantas ia pindahkan ke kening si gadis.
Gadis remaja itu bersungut. Ia kini mengedipkan kedua matanya bergantian. Ia sudah lelah dengan usahanya menjelaskan pada Simbok. Mau bagaimanapun juga Simbok tak akan mengerti. Meski begitu, ia tak mau usahanya sia-sia. Ia sudah capek membuntuti sejak shubuh tadi. Ah, lelaki itu!
Ia membalikkan badan. Mencari keberadaan lelaki paruh baya. Dilihatnya segala tempat sekira mereka berada. Rupanya mereka sudah berpindah tempat.   
Si gadis merengut. Ia langsung pergi tanpa menoleh pada Simbok yang memanggil namanya.
***
Gadis kecil kembali meringkuk. Ia berhasil menghindar dari serangan botol kaca yang bisa memburu mautnya.
“Ha! Bagaimana tadi? Kau terluka?” Lelaki itu memicingkan pandangannya. Berada di ruangan buram ini membuat fokusnya sedikit kabur. Ia ingin tahu ekspresi apa yang sedang ditampakkan gadis kecil padanya. Botol kaca lain sudah diambil. Ia acungkan tinggi-tinggi ke udara.
Ia sekali-kali tidak merasa berdosa atas perbuatan yang baru ia lakukan. Ia malah berlanjut menampar pada angin yang kosong. Membabi buta sebab tak jelas mata melihat. Ia hanya menuruti indra pendengarannya saja. Ia kemudian berdiri diam.
Decitan bangku layak menjadi pemicunya. Lelaki itu segera berlari mencari sumber cicitan itu.
“Uh! Sialan kau!” Lelaki itu jatuh berjongkok. Ia meratapi telapak kakinya. Dirabanya perlahan. Ia mencabut perangkap yang menjepit jempol kakinya. Tak ada cairan kental yang keluar membasahi kulit. Namun sakit yang diderita sangatlah ia rasa. Ia berjinjit mencari tembok. Satu langkah. Dua langkah. Sebisa mungkin tidak menyenggol barang-barang yang bahkan tidak bisa tertangkap oleh lensa maniknya.
 “Mau coba kabur?” Saklar lampu sudah dinyalakan. Lelaki itu mendekat. “Kau anak pembawa sial! Padahal sudah ku bilang agar Muning ikut aborsi. Namun ajakanku ditolaknya mentah-mentah. Tak takut siksa neraka katanya? Hahaha, terkadang aku heran dengan pola pikirnya. Neraka? Bukankah itu masih jauh di alam sana? Buat apa ku pikir sekarang? Yang nanti, uruslah nanti. Seharusnya seperti itu. Tapi Muning...” Warna mukanya melembut. Dipasangkannya wajah semanis mungkin. “Jikalau dia menurutiku. Pasti kita sedang berbulan madu. Bukannya dengan kau! Aku tak sudi kau dijadikan penggantinya!” Pelan-pelan kedua tangan ia buat setengah lingkaran. Ia mendekat.
Si gadis kecil mundur mengesot. Ia pukulkan tulang tengkorak bagian belakang pada jendela yang masih utuh. Ia lupa akan rasa perih. Padahal kaki tangannya sudah berbalut getih. Ia tak sengaja menginjak pecahan botol kaca saat merangkak tadi.
Tiba-tiba lelaki itu sudah di hadapannya. Tergambar samar di imajinasinya bagaimana mencekik anak yang ia benci. Senyum sadis ditampakkannya sekali lagi. Namun, “Ah!”. Rupanya ada pecahan kaca yang menyangkut di belahan jempol dengan jari lain. Ia meringis.
Tak membuang kesempatan, gadis kecil mengambil pecahan yang mengelilingi tubuhnya. Ia lemparkan pada lelaki itu. Bertubi-tubi. Ia ambil satu dengan kelokan paling tajam dan menusuknya ke paha si lelaki. Begitu kuat dan begitu dalam. Bahkan potongan kaca yang dipegangnya bisa masuk hingga separo. Darah mengucur deras. Membasahi kulit lain yang kering.
Agaknya gadis kecil ketagihan. Ia bergerak ke lutut lain membuat lubang lain. Ia korek bagai mengorek kotoran. Menimbulkan suara benda yang jatuh ke lantai. Mungkin ada satu dua daging atau tulang yang berhasil ia gali. Lubangnya menganga tapi tak begitu dalam dibandingkan tadi.
Ia bergerak lagi. Menuju perut bagian kanan. Ia raba-raba sebentar. Kemudian ia mulai menggores. Perlahan. Dari titik yang ia buat ditarik ke atas kembali ke bawah. Membentuk hati.
Lelaki itu tak dapat berkutik. Sakit yang menyergap membius tubuhnya. Ia tiba-tiba merasa lemas.
“Itu bukan salahku. Aku tak pernah memilih akan lahir dari siapa.” Gadis kecil menatap hasil karyanya. Ia tersenyum lalu mengangkat pecahan kaca yang meneteskan butiran cairan merah. “Namun, aku tetap mencintaimu Ayah...” Ia menjilatnya. Diteguknya penuh kenikmatan. Matanya merem melek. Lidahnya mengusap bibirnya penuh-penuh.
Tak ada suara. Tak ada raungan kesakitan. Lelaki itu pingsan.
“Aku bukan anakmu!” Gadis kecil pergi.
***
Dua puluh tahun sudah berlari. Waktu yang cukup panjang untuk dapat melupakan. Tentang hal yang tak mengenakkan dan menyesakkan. Kesalahan. Kegagalan. Ia tak pernah mengucap kata peristiwa lalu. Apalagi mengadu. Ia tak memiliki hak untuk itu.
 “Pri, ada apa?”
“Tadi, istriku ke sini.” Supri menyeruak di sesemak dedaunan. Tatapannya penuh selidik. Ia mawas melirik kanan kiri mencari tunas kecurigaan. Ia menyeret kakinya hingga ke tanah yang lebih lapang. Menyabet sana sini rumput yang menghalangi jalur jalanannya.
“Istri? Bukankah katamu ia sedang sakit? Tak bisa bergerak?”
“Hm. Lihat, ini tanda cinta dari istriku!”  Supri menyingkap kaos tipis bagian perutnya. Lambat. Penuh kehati-hatian. Ada goresan luka di sana. Menyerupai hati.
Muhidin menatapnya santai. Ia mengira itu adalah tatto yang dibuat istri Supri. “Lalu bagaimana dengan anakmu? Apakah ia sudah kembali? Aku lupa, siapa namanya?”
Supri mencari bongkahan batu besar. Ia menidurkan lutut kanan di atas batu tersebut. Ada darah yang meleleh. Mengalir menembus celana tebal yang ia pakai. Ia mengerang. Lalu sesekali ditiupnya luka itu. Mengambil napas dalam-dalam, lalu ia berkata, “Namanya Muning...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar