Genre: Blood, Hurt, Family
MUNING
Matahari belum cukup menguning. Ia
nampak bersembunyi di gumpalan awan. Malu-malu. Padahal ayam saja sudah main
teriak di kandang. Meminta sarapan pada sang majikan.
Di pinggir kota, bayang lelaki tua
memecah keheningan. Kakinya yang pincang menerobos barang bekas yang
berantakan. Bambu panjang yang dipegangnya terus mengulik tiada henti. Ia tak
menghiraukan dinginnya udara pagi yang menyusup merembes ke pori-pori. Ia juga mengabaikan
kulitnya hampir membeku akibat bersentuhan dengan berribu bulatan air. Yang
membuatnya perduli, adalah barang yang ia cari. Ia harus mengumpulkannya.
“Pri, rajin amat kau. Datang sepagi ini.”
Muhidin. Kawan Supri saat mencari bahan setoran. Tidak seperti Supri, Muhidin
selalu berpakaian lengkap. Pun kali ini,
memakai atas bawahan lengan panjang, masker, sarung tangan, sepatu but, dan
topi. Perut buncitnya jadi terlindungi.
Supri melirik ganjal pada benda
yang dipegang Muhidin. “Ini kipas. Kau tahu kan? Buat mengusir keringat dan
lalat!” Muhidin mengibas-ngibaskan kipasnya di leher dan sekelilingnya. Karung
goni yang bertengger ia taruh sebentar. Dia mau beraksi lagi, meniru pose milik
Marilyn Monroe. Bibir dimonyongin
serta bokong dinaikin. Alamak, bikin geli saja. Supri jadi terkekeh melihatnya.
“Aha! Ini memang cara paling ampuh
untuk membuatmu tertawa. Hahaha...” Mereka masing-masing tergelak. Suaranya
dititipkan kepada angin yang mampir. Berharap kebahagiaan sejenak itu dapat
dibawa terbang untuk kemudian kembali lagi pada si pemiliknya, mereka berdua.
Mereka tak menyadari ada gadis yang mengintip di balik pagar. Di samping
mereka, persis. Membola matanya. Aroma geram menguar menyelimutinya. Ia, entah
apa dan kenapa, seperti tidak menyukai kedua lelaki paruh baya yang sedang
lempar canda. Tepatnya pada lelaki yang sedang memegang bambu panjang. Ia
menatap penuh emosi.
***
“Anak durhaka! Andai kau tak lahir
dari rahim Muning. Muningku... Muningku... Kau, enyah!” Maki sosok tubuh yang
bersender pada pintu. Gema teriakannya mengumbar ke seluruh ruangan. Bising.
Kakinya sibuk menggedor pintu. Ditendangnya berkali-kali. Namun nampaknya
gerendel pintu itu sangat kuat. Membuka satu sentipun tidak. Gusar ia
dibuatnya.
Lelaki itu memutar kepalanya tiga ratus
enam puluh derajat. Lirikannya tajam. Ia menatap pada botol kaca yang
dipegangnya. Sudut bibir kanannya menukik tajam. Ia menyeringai.
Sementara yang dituding duduk
meringkuk di pojokan. Ia menekuk wajahnya rapat-rapat. Tak berani ia membalas
ucapan lelaki yang memainkan berbagai sumpah serapah di depan kamarnya. Ia
menangis dalam diam. Semua gelora berbenturan membentuk emosi. Amarahnya memuncak.
Namun apa daya, tubuhnya yang kecil tak akan mampu melawan lelaki tua yang
bahkan tidak tahu dirinya dalam keadaan sadar atau tidak.
Air mata yang mengalir mulai deras
sudah. Ia berkali-kali menggosok dengan kaos oblongnya. Perih dan membesar
jadinya kedua kelopak mata. Dadanya sesak.
Ia, meskipun masih berumur jagung,
sudah tahu apa maksud teriakan lelaki itu. Ia tahu penyebab lelaki itu
menggila. Berjalan ke sana ke mari sambil membenturkan dahinya. Kadang di malam
hari ia juga mendengar sesenggukan dari kamar sebelah. Lelaki itu mengeja nama
Muning... Muning... Muning... Suaranya lirih. Menyayat hati. Gadis itu ikut
pilu ketika lelaki itu menyebut nama Muning. Ia bagai dihantui. Kupingnya menghangat
jika nama itu dipanggil. Ia benci nama itu. Muak ia.
PRANG. Kaca jendela robek.
Membentuk lubang besar dengan botol kaca terjulur menyeberanginya. Si pemegang
menatap lekat gadis kecil itu. Nyengir.
“Mati kau!” Ia melempar botol kaca.
***
“Neng, ngapain di sini?” Sentuhan
di bahu membuatnya hampir terjungkal. Ia begitu fokus hingga tak menyadari
Simbok di belakangnya sejak tadi. Tangan kanannya balik mencengkeram bahu
Simbok. Ia memasang wajah sembunyi. Menuntut Simbok untuk tidak berkata. Masker
dilonggarkan sedikit. Tergesa ia mengejar oksigen.
Ia melihat sekeliling. Tempatnya
berdiri memang tidak jauh dari pasar. Jadi pantaslah ramai mulai berdatangan.
Banyak diantaranya yang menggendong keranjang. Ia paham situasi itu, sehingga
ia agak berkilah dengan berbincang dengan Simbok.
Bibirnya ia naik turunkan. Tapi tak
ada suara yang keluar. Mukanya ia hadapkan membelakangi orang yang lalu lalang.
Ia berbuat demikian hampir tiga menit penuh.
“Neng, ada apa?” Simbok menampakkan
muka khawatir. Tangannya yang semula bebas lantas ia pindahkan ke kening si
gadis.
Gadis remaja itu bersungut. Ia kini
mengedipkan kedua matanya bergantian. Ia sudah lelah dengan usahanya menjelaskan
pada Simbok. Mau bagaimanapun juga Simbok tak akan mengerti. Meski begitu, ia
tak mau usahanya sia-sia. Ia sudah capek membuntuti sejak shubuh tadi. Ah,
lelaki itu!
Ia membalikkan badan. Mencari
keberadaan lelaki paruh baya. Dilihatnya segala tempat sekira mereka berada. Rupanya
mereka sudah berpindah tempat.
Si gadis merengut. Ia langsung
pergi tanpa menoleh pada Simbok yang memanggil namanya.
***
Gadis kecil kembali meringkuk. Ia
berhasil menghindar dari serangan botol kaca yang bisa memburu mautnya.
“Ha! Bagaimana tadi? Kau terluka?”
Lelaki itu memicingkan pandangannya. Berada di ruangan buram ini membuat
fokusnya sedikit kabur. Ia ingin tahu ekspresi apa yang sedang ditampakkan
gadis kecil padanya. Botol kaca lain sudah diambil. Ia acungkan tinggi-tinggi
ke udara.
Ia sekali-kali tidak merasa berdosa
atas perbuatan yang baru ia lakukan. Ia malah berlanjut menampar pada angin
yang kosong. Membabi buta sebab tak jelas mata melihat. Ia hanya menuruti indra
pendengarannya saja. Ia kemudian berdiri diam.
Decitan bangku layak menjadi
pemicunya. Lelaki itu segera berlari mencari sumber cicitan itu.
“Uh! Sialan kau!” Lelaki itu jatuh
berjongkok. Ia meratapi telapak kakinya. Dirabanya perlahan. Ia mencabut
perangkap yang menjepit jempol kakinya. Tak ada cairan kental yang keluar membasahi
kulit. Namun sakit yang diderita sangatlah ia rasa. Ia berjinjit mencari tembok.
Satu langkah. Dua langkah. Sebisa mungkin tidak menyenggol barang-barang yang
bahkan tidak bisa tertangkap oleh lensa maniknya.
“Mau coba kabur?” Saklar lampu sudah
dinyalakan. Lelaki itu mendekat. “Kau anak pembawa sial! Padahal sudah ku
bilang agar Muning ikut aborsi. Namun ajakanku ditolaknya mentah-mentah. Tak
takut siksa neraka katanya? Hahaha, terkadang aku heran dengan pola pikirnya. Neraka?
Bukankah itu masih jauh di alam sana? Buat apa ku pikir sekarang? Yang nanti,
uruslah nanti. Seharusnya seperti itu. Tapi Muning...” Warna mukanya melembut.
Dipasangkannya wajah semanis mungkin. “Jikalau dia menurutiku. Pasti kita
sedang berbulan madu. Bukannya dengan kau! Aku tak sudi kau dijadikan
penggantinya!” Pelan-pelan kedua tangan ia buat setengah lingkaran. Ia
mendekat.
Si gadis kecil mundur mengesot. Ia
pukulkan tulang tengkorak bagian belakang pada jendela yang masih utuh. Ia lupa
akan rasa perih. Padahal kaki tangannya sudah berbalut getih. Ia tak sengaja menginjak pecahan botol kaca saat merangkak
tadi.
Tiba-tiba lelaki itu sudah di
hadapannya. Tergambar samar di imajinasinya bagaimana mencekik anak yang ia
benci. Senyum sadis ditampakkannya sekali lagi. Namun, “Ah!”. Rupanya ada pecahan
kaca yang menyangkut di belahan jempol dengan jari lain. Ia meringis.
Tak membuang kesempatan, gadis
kecil mengambil pecahan yang mengelilingi tubuhnya. Ia lemparkan pada lelaki
itu. Bertubi-tubi. Ia ambil satu dengan kelokan paling tajam dan menusuknya ke paha
si lelaki. Begitu kuat dan begitu dalam. Bahkan potongan kaca yang dipegangnya
bisa masuk hingga separo. Darah mengucur deras. Membasahi kulit lain yang
kering.
Agaknya gadis kecil ketagihan. Ia
bergerak ke lutut lain membuat lubang lain. Ia korek bagai mengorek kotoran.
Menimbulkan suara benda yang jatuh ke lantai. Mungkin ada satu dua daging atau
tulang yang berhasil ia gali. Lubangnya menganga tapi tak begitu dalam
dibandingkan tadi.
Ia bergerak lagi. Menuju perut
bagian kanan. Ia raba-raba sebentar. Kemudian ia mulai menggores. Perlahan. Dari
titik yang ia buat ditarik ke atas kembali ke bawah. Membentuk hati.
Lelaki itu tak dapat berkutik.
Sakit yang menyergap membius tubuhnya. Ia tiba-tiba merasa lemas.
“Itu bukan salahku. Aku tak pernah
memilih akan lahir dari siapa.” Gadis kecil menatap hasil karyanya. Ia
tersenyum lalu mengangkat pecahan kaca yang meneteskan butiran cairan merah.
“Namun, aku tetap mencintaimu Ayah...” Ia menjilatnya. Diteguknya penuh
kenikmatan. Matanya merem melek. Lidahnya mengusap bibirnya penuh-penuh.
Tak ada suara. Tak ada raungan
kesakitan. Lelaki itu pingsan.
“Aku bukan anakmu!” Gadis kecil
pergi.
***
Dua puluh tahun sudah berlari.
Waktu yang cukup panjang untuk dapat melupakan. Tentang hal yang tak
mengenakkan dan menyesakkan. Kesalahan. Kegagalan. Ia tak pernah mengucap kata
peristiwa lalu. Apalagi mengadu. Ia tak memiliki hak untuk itu.
“Pri, ada apa?”
“Tadi, istriku ke sini.” Supri menyeruak
di sesemak dedaunan. Tatapannya penuh selidik. Ia mawas melirik kanan kiri
mencari tunas kecurigaan. Ia menyeret kakinya hingga ke tanah yang lebih lapang.
Menyabet sana sini rumput yang menghalangi jalur jalanannya.
“Istri? Bukankah katamu ia sedang
sakit? Tak bisa bergerak?”
“Hm. Lihat, ini tanda cinta dari
istriku!” Supri menyingkap kaos tipis
bagian perutnya. Lambat. Penuh kehati-hatian. Ada goresan luka di sana.
Menyerupai hati.
Muhidin menatapnya santai. Ia mengira itu adalah tatto yang dibuat
istri Supri. “Lalu bagaimana dengan anakmu? Apakah ia sudah
kembali? Aku lupa, siapa namanya?”
Supri mencari bongkahan batu besar.
Ia menidurkan lutut kanan di atas batu tersebut. Ada darah yang meleleh. Mengalir
menembus celana tebal yang ia pakai. Ia mengerang. Lalu sesekali ditiupnya luka
itu. Mengambil napas dalam-dalam, lalu ia berkata, “Namanya Muning...”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar