Genre: Comedy, Friend
ALAN BUKAN ALAY
‘Allooo. Siapa di sana?’ Bunyi itu mengagetkan Alan. Bukan, bukan
bunyi yang dihasilkan suara tersebut. Melainkan bunyi ‘PLUNG’ yang keras sampai
bikin mudnya Alan terganggu. Alan sudah mau tidur, mengistirahatkan tubuhnya
yang sibuk beraktivitas seharian.
‘Alan.
Kamu?’ Ia membalas cepat pesan yang mengganggu layar berandanya. Fesbuk jadi
pilihan pertama untuknya bermain di dunia maya meski bakal ditinggal tidur.
‘Aku?
Siapa aku? Kamu nanyain aku? Pengin tahu siapa aku nih? Oououooo, aku kasih
tahu nggak yaaa’
Panjang dan bikin sewot. Alan menggerutu dalam hati, siapa yang ngajak obrolan juga!
Panjang dan bikin sewot. Alan menggerutu dalam hati, siapa yang ngajak obrolan juga!
PLUNG.
Tadi Alan sengaja mengacuhkannya, dan baru tiga menit kemudian obrolan itu
muncul lagi.
‘Hadududuh....
Marah nih ye. Maaf deh. Aku, Aku. Salam kenal!’ Rasanya Alan pengin off daripada menanggapi omongan nggak
jelas dari pemilik akun aku di seberang sana. Ia menilik nama di garis biru
atas pada kotak kecil tempat ia mengobrol. Tertera di sana, Qkkkuuu ssi AkuPenjuchaKo0micBingitts.
‘Alay’
Maksud menyimpan dalam hati namun jarinya yang berbicara. Ia segera
menambahkannya, ‘Maksudku namaku Alan’
‘Iyya.
Iyya. Aku ngerti kok. Betewe, tinggal di bagian bumi mana nih?’ Ada tambahan
emotikon di belakang pesan, wajah yang meletin lidah tepatnya.
Obrolan
itu berlanjut hingga satu jam sejak awal mulai tadi. Aku-entah siapa nama
aslinya-sebenernya asyik, gokil dan enak diajak ngomong. Ia bisa tahu apa saja
yang ditanyain oleh Alan. Mungkin karena keduanya memiliki kekaguman yang sama.
Mereka sama-sama tertarik pada rapper
Suju, boyband asal negeri dengan keberhasilan besar untuk surgery plastic. Yang bikin para aktornya punya wajah mentereng itu
loh...
Lampu
di luar kamarnya berganti dengan lampu yang lebih redup. Menggunakan cahaya
yang dipancarkan hiasan dari pigura bergambar ka’bah. Alan melihat jam
dindingnya yang tertempel di atas pintu. Aish, sudah jam sebelas tiga puluh pi
em rupanya.
‘Hampir
tengah malam. Aku op’
‘Hei.
Muana salam perpisahannya? Cipika cipiki dung ya?’
Twitch. Satu kedutan muncul di dahi
Alan. Ini orang emang enak diajak chating, tapi lebaynya kebangetan. Ia sempat
melihat satu pesan lagi dari si Aku, ‘Oukay, muimmpiiii uiindiaaah eaaa’
Alan
hanya berharap, di mimpinya ia tidak bertemu dengan orang setipe si Aku. Ya,
orang ini memang masih ngotot bernama Aku.
***
Matahari
sudah menguning. Seakan bangga dengan cahayanya yang mampu menguasai alam.
Hangatnya matahari itu belum mampu membangunkan tidurnya Alan, karena ini akhir
minggu. Ia berencana untuk tidur sampai jam sembilan menuju siang.
Drrrrt.
Drrrrt. Drrrrt. Ponselnya bergetar. Alan tidak mendengar.
Drrrrt,
diiringi piano yang mengalir pelan, kemudian sebuah nyanyian...
Saa ho wo susumeyo, Boku tachi no, Ikiru
akashi wo sagashite
Juupun
sugiru kirai, kako wa zurai tohou ni, kureta hibi—1
‘Hallo?’ Alan menyerah. Ia nggak
bisa terlalu lama membiarkan Eunhyuk-rapper Suju- bernyanyi untuknya. Ia selalu
merasa bahwa Eun sedang memberikan wejangan khusus untuknya setelah konser
selama empat jam penuh. Aneh memang, namun itulah perasaan Alan. Tapi ups,
jangan berimajinasi terlalu liar ya? Alan nggak punya feel ‘nananina’ ke Eun kok. Aku
cowok tulen, ia bersumpah ia hanya seorang fans, fans yang selalu mengintip
kehidupan Eun.
‘Hallo?’ Nggak ada respon. Ia
melirik layar ponselnya, no name,
hanya ada dua belas angka yang artinya belum tertera di kontaknya.
‘Hallo? Siapa ini?’
‘Hallo?’ Masih suara Alan.
“Hei, ngehina ya? Tahu kok, aku tuh
orang biasa. Orang yang sampai nggak enak sendiri buat ngebuang pulsa. Mending
amal pulsa deh kamu ke aku! Gangguin tidur orang aja! Seneng ya?!” Alan misuh-misuh.
“Eeeeeehhh??? Wuakakakakak, muaaf
yuaa brooo. Uaku ngguak tuau kualuau kuamu luagi tuidurr. Huehehe” Translit,
maaf ya bro. Aku nggak tahu kalau kamu lagi tidur. Hehehe...
Ada
apa dengan hariku? Kenapa alayers malah memburuku? Permainan apa yang sedang
berlangsung?, Alay eh Alan membatin. Ia segera
bersujud tiga kali dan berdoa, Ya Allah. Apakah Engkau marah padaku? Engkau
tahu kalau sebenarnya aku sebal pangkat seribu sama orang alay. Inikah karma
atas ucapanku yang keterlaluan? Maafkan aku Ya Allah...
Tapi BOHONG! Nggak mungkin Alan
bakal berbuat hal kayak gitu. Sebaliknya, ia langsung mengambil tindakan
positif-menurutnya-untuk si stimulus dan si reseptor berupa reject panggilan masuk. Stimulus, ya
penelepon tadi, Alan memberikan pelajaran padanya bahwa tidak setiap orang
menyukai ke’alay’an. Ia suka bersikap wajar layaknya manusia pada umumnya. Lalu
reseptor, tentu Alan, Ia nggak mau dijadiin korban kegajean orang nggak waras
di lingkungannya, juga ia nggak mau telinganya jadi; merah, terbakar dan keluar
asap yang menyebabkan gangguan berupa penurunan sensitifitas auditori bersifat
sementara. Aih...
Ia
juga beranggapan bahwa hal yang akan dilakuinnya adalah positif karena akan mengumpulkan
banyak energi untuk pikirannya. Alan kembali tidur.
Zzzz....
***
Bisa
jadi Alan memang terkena kerusakan anatomi pada telinganya. Tadi sore ketika ia
makan nasgor setelah bangun dari tidur panjangnya, Mamanya berdehem banyak
kali. Alan mengira Mamanya terserang batuk. Karenanya ia menyodorkan gelas
minumnya, tidak sedikitpun berniat melihat wajah sang Mama tercinta. Mamanya
kembali beraksi, beliau mengetukkan meja makan keras. Kalau boleh hiperbola
sedikit, itu rumah susun milik keluarga Alan akan muncul di berita dengan headline ‘Ajaib! Rumah susun roboh karena
ulah seorang Mama yang menghasilkan ketukan dengan skala 8 richter.’
Kembali
ke Alan. Ia benar-benar nggak merasa aura hitam yang mulai membungkus tubuhnya.
Bahkan ia bertanya, ‘Mama lagi caper ya? Kesepian kan ditinggal papa ke Bogor?
Bisa ku bantu?’ BRAK! Alhasil, Alan dapet hadiah besar dari mamanya.
“Huh, semuanya karena alay! Gara-gara
alay aku dimarahin mama! Gara-gara alay aku disuruh ngepel rumah! Gara-gara
alay juga aku nggak bisa tidur! Gara-gara alay, terbuang sudah waktu berhargaKU!”
Alan membuang kain pelnya ke sudut dinding. Ia berdiri lalu berjalan. Menendang
ember tempat ia memeras kain pelnya. Beberapa detik kemudian, ia kembali
jongkok dan mengisi ember dengan air bersih, mengambil kain pelnya. Lalu ia
mulai mengepel lagi.
***
Ini memang masih minggu sore, walau
bulan numpang ngeksis di ujung langit sana. Alan yang berniat buat malsin *malam
senin* akhirnya mengurungkan niatnya. Iya, karena dia tahu dirilah. Mana
mungkin sesudah tidur satu hari penuh terus makan nasgor yang siap saji di meja
terus masih kepengin jalan bareng teman... Nyari mati, eh?
“Perlu refresh...”,
katanya sambil membuka jejaring sosialnya tanpa sign in. Fesbuk memang sudah terpasang secara otomatis di lepinya, ya
dia nggak pernah ngeluarin akunnya sendiri. Sekalipun.
PLUNG. Satu obrolan melambai di
sudut kanan bawah. Alan mengabaikannya. Ia lebih tertarik pada notice yang menampilkan empat permintaan
pertemanan, dua pesan, dan duapuluh delapan pemberitahuan. Ia menemukan satu
wall dari Qkkkuuu ssi AkuPenjuchaKo0micBingitts, disertai banyak komentar di
bawahnya. “Mau nambah nelangsaku lagi?”, tanya Alan pelan.
Ia membuka profilnya sendiri,
diliriknya gambar yang ditag si Aku.
Ada gambar seorang bayi yang
telunjuk kanannya menuding dahinya sendiri. Gayanya kayak orang memegang pistol
gitu. Tak lupa ia melirik note bertuliskan Alay? Hak tiap orang dong! Jangan
langsung nge-blame begitu mendengar, membaca,
or melihat alay, okay?
Ini artikelnya.
Kemarin aku membaca postingan seorang teman.
Ku anggap ia teman, meski ia tidak menganggapku begitu. Ada yang menarik di
sana, curcolnya, ia sangat-sangat benci dengan ke‘alay’an. Bagaimana bisa, alay
menjadi satu hal yang menonjol saat ini? Bahkan bukan untuk gaya menulis saja,
gaya bicara dan gaya berpakaian juga dibuat sealay mungkin.
“Ehhhh? Kayaknya aku kenal tulisan
ini...” Alan mengangguk-angguk. Agak setuju dengan pernyataan penulisnya.
ALAY. Ini singkatan yang aku buat,
A : Aslinya pengin dapat perhatian,
L : Lalu bikin kehebohan,
A : Apapun yang ia lakuin,
hasilnya selalu berlebihan,
Y : Yaaa, misalnya nih suka ngomong “cemungudh
eaaa qaqaaaaq~”
Kira-kira begitu sih singkatan yang paling
pantas untuk menggambarkan anak layangan alias alay. Terlebih jika ditilik dari
sebutan yang dipakai yaitu layangan. Mungkin sebelum alayers lahir ke dunia,
Ibu mereka mengidam satu hal yang sama. Apalagi kalau bukan main layangan
dengan daster bermotif banyak bunga-bunga. Ditemani dengan suaminya yang
diminta memakai sepasang pakaian bermotif banyak bunga-bunga juga. Lalu mereka
pergi ke italia. Dengan sengaja menjatuhkan diri di atas rerumputan gunung yang
banyak bunga-bunga *baca kalimat terakhir dengan nada sing a song yang sudah pasti kalian tahu*. Entahlah, pikiran alay memang sulit ditebak.
Saya jabarkan saja, kemungkinan yang
menyebabkan seseorang bertingkah alay.
Pertama, kurangnya kasih sayang yang ia
terima semasa hidupnya. Ya, ia merasa tidak seorangpun menyayanginya. Jadi ia
mengupayakan segala cara supaya orang lain bisa melihat dirinya, dengan cara menampilkan
keunikan yang ia punya. Unik sih gak papa kalau itu menarik, lha ini bukannya
unik malah bikin orang mendelik!
Kedua, ia merasa tidak seorang pun rindu atas
ketidakhadirannya. Apalagi dirindu, disayang saja tidak!
Ketiga, Ia merasa iri dengan kehidupan orang
lain. Ia ingin seperti orang lain, namun tidak mampu!
Keempat, karena dasarnya alayers memang GILA!
Mau dinasehatin apapun nggak akan mempan!
Dan menurutku,
Alay itu bikin semua panca indera terganggu,
alay juga bikin kemampuan membaca terrasa lemah*?*. Alay adalah iblis dari
perbendaharaan kosakata Bahasa Indonesia. Alay adalah nerakanya dunia anak
sastra. Karena apa? Yah, karena bahasa alay akan meracuni pikiran anak remaja
dalam menulis... Tentu!
So, aku
secara resmi mengumumkan, ‘MARI KITA BASMI ALAYERS BIAR NGGAK EKSIS
LAGIII!’
SEKIAN.
Alan mengernyitkan dahi.
“Ini kan tulisankuuuuu???” Ia
mendekatkan wajahnya ke layar monitor yang menyala. Diliriknya sumber artikel
di pojok kanan bawah.
@SIALAN. Ya, itu username yang dia
pakai ketika berjalan di dunia maya. SIALAN, artinya si alan. Nama aslinya.
‘Apa maksudmu re-posting tulisanku
di fesbuk? Tanpa permisi pula! PLAGIAT!’ Alan mengirim pesan ke pemilik akun Qkkkuuu
ssi AkuPenjuchaKo0micBingitts.
PLUNG. Si Aku ini memang lagi
online.
‘Aku bukan plagiat. Dan betul aku
belum meminta ijin posting tulisanmu. Aku meminta maaf untuk itu. Aku tidak
bermaksud apa-apa. Tapi, sekali lagi, aku bukan plagiat. Aku sudah memberi
keterangan bahwa tulisan ini milikmu. Pojok kanan bawah. Kau lihat itu kan?’
‘Yang namanya plagiat tetep aja
plagiat. Nggak usah nyari alasan!’ Alan mengeklik mousenya keras. Ia meninju
tembok di samping kanannya.
“Ouch. Sakiiit” Dielus buku jari
kanannya. Ia off dari fesbuk.
“Huh!” Alan beranjak ke kasur.
Sepertinya Alan tidak menyadari
satu hal. Balasan dari pesan yang dikirim si Aku. Gaya tulisannya normal. Tidak
ada singkatan dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Font sizenya juga normal, tidak ada yang tiba-tiba besar kemudian
kecil atau malah sebaliknya. Alan hanya peduli dengan isi artikel tadi. Ia terlalu
mendidih untuk mengurusi gaya tulisan yang dipakai si Aku. Padahal biasanya ia
orang nomor satu jika menyangkut ketidakwajaran seseorang dalam menulis. Untuk
menentang, pastinya.
***
Hari ini Alan tidak ada mud untuk
membuka fesbuk. Ia lebih memilih membuka blog pribadinya. Terlihat berbagai
tulisan ‘ALAN BUKAN ALAY’ memenuhi semua ruang blognya. Warna-warni. Ia merasa sangat
puas untuk hal itu.
Ia melihat ada komentar di box chat miliknya. @siaku, Kamu segitu
bencikah dengan alay? Sampai blogpun dibikin jaring ‘alan bukan alay’.
“Gila nih orang. Di mana aja nongol!”
Alan melihat postingan tentang artikel alaynya yang direposting si Aku. Ada komentar juga di bawahnya.
Aku benar-benar bingung dengan kebencianmu
itu. Benci sih boleh, tapi jangan keterlaluanlah. Pertama kali aku buka blog
ini, jujur tenggorokanku langsung kering! Rasa haus menyelimuti tenggorokanku. Mungkin
karena tidak ada lagi air liur yang bisa ku telan? Hm, kamu ini sudah masuk
level 10 lho untuk rasa bencimu. Berkoar tentang rasa bencimu ke sosmed mana
saja. Ya blog, fesbuk, twitter, instagram, path, dan bahkan friendster. Aku
tahu itu, karena tak sengaja kubuka friendstermu.
“Heeee? Dasar stalker! Mana ada yang kebetulan buka gituan ? ”
Kupikir sudah waktunya kamu pergi ke dokter.
Cobalah konsultasi masalah kejiwaanmu...
“Kamu pikir aku GILAAA?”
Ya, kamu memang sedikit gila.
“WHAT?!” Serasa ada obrolan antara
komentar dan Alan.
Kelakuanmu bahkan lebih buruk dari mereka
yang kamu sebut alay. Perhatikan dirimu! Kamu begitu terobsesinya untuk
memusnahkan alay. Sampai-sampai bikin baju bertuliskan MAMI ALAY alias Mari
Basmi Alay. Menurutku sih, bukannya ngilangin alay tapi kamu sendiri akan dicap
maminya alay. Dan aku tahu design bajumu, karena tak sengaja kubuka foto-foto
di fesbukmu.
“Nggak sengaja? Nyari mati???”
Kamu itu yang cari mati. Mungkin secara fisik
nggak ada yang akan nyerang kamu. Karena tahu wajahmu saja tidak. Tapi coba
lihat lebih dalam dampak kebencianmu itu! Pembaca pasti mengira kamu orang aneh
nggak punya kerjaan. Ngapain ngurus orang alay? Memangnya mereka mengganggumu?
Ups, maksudku mengganggu dalam hal nyata lho ya. Dibully, mungkin? Pernah nggak? Kalau belum, hentikan sikap nggak
dewasamu itu!
Menurutku, kamu itu yang berlebihan. Bikin
atribut ini itulah yang pikirmu bisa melenyapkan alayers. Helllooo? Memangnya
mereka peduli keinginanmu itu? Nggak ngaruh, tahu! Malahan mereka bakal lebih
gencar lagi bikin banyak kealayan di muka bumi ini. Tujuannya cuma satu, biar
kamu tambah kesal!
Takutnya
nih, akan ada banyak yang balik membenci kamu, melacak keberadaanmu, lalu
dilaporkan ke pihak berwajib, kemudian dihukum atas kasus ‘Pendiri Organisasi
MAMI ALAY, Meresahkan Dunia Alay’. Bisa jadi, kan?
Renungkan nasihatku!
Alan diam. Ia hanya diam. Beberapa
waktu ke depan ia tetap diam. Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga tak terhitung
jumlah jam. Ia masih diam. Ia memikirkan segala usaha yang dilakukannya selama
ini. Mami alay, artikel benci alay, update status benci alay, bikin foto-foto
benci alay, jualan aksesoris benci alay, dan masih banyak yang lainnya. Itu
semua nggak ada yang laku. Dan memang banyak juga yang sudah mencaci maki dia.
Tapi Alan selalu menulikan diri, balik membungkam mereka dengan cara yang hanya
ia dan Tuhan yang tahu.
“Hm, benarkah aku sudah
keterlaluan?” Alan melirik komentar @siaku. Banyak yang nge-like tulisannya.
Alan jadi sedikit merinding. Ia segera mengirim pesan ke @siaku.
Hei kamu. Sorry, ye. Mungkin memang aku
terlalu berlebihan. So, tunggu saja. Besok aku akan beralih jadi, ALAN DUKUNG
ALAY. Yaaah, karena ada yang bilang padaku, jika kamu melakukan kesalahan bayar
dengan kebalikannya (kebalikan itu kebenaran, kan?). Maka segalanya akan
berakhir baik-baik saja.
Seseorang di seberang sana, yang
mengaku dirinya memiliki akun @siaku, hanya bisa menggelengkan kepala.
“Tobat... Tobat...”
***
1 : lirik lagu
way, dipopulerkan oleh super junior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar